Info Terbaru 2022

Materi Bk Perkembangan Nilai Dan Moral

Materi Bk Perkembangan Nilai Dan Moral
Materi Bk Perkembangan Nilai Dan Moral

Materi BK Perkembangan Nilai dan Moral


 contohnya adab kebiasaan dan sopan santun  Materi BK Perkembangan Nilai dan Moral


Nilai kehidupan adalah
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, contohnya adab kebiasaan dan sopan santun (Sutikna dalam Sunaryo.2002:168) Sopan santun, adab istiadat dan kebiasaan serta nilai yang terkandung dalam Pancasila yaitu nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia dalam hubungannya dengan negara serta dengan sesama warga negara. Moral yaitu pedoman wacana baik jelek perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan. Dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan membedakan antara perbuatan yang benar dan salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.

Dalam kaitannya dengan pengamalan nilai-nilai, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laris sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengamalan nilai hidup tenggang rasa, dalam sikap seseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain dan sanggup membedakan tindakan yang benar dan yang salah. Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut problem antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral.

Karakteristik Nilai dan Moral Remaja

Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adab kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, contohnya nilai keagamaan, kemanusiaan, keadilan, estetik, etik, dan intelektual dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan remaja.

Salah satu kiprah perkembangan yang harus dikuasai remaja yaitu mempelajari apa yang dibutuhkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian bersedia membentuk sikap semoga sesuai dengan keinginan sosial masyarakat tanpa terus dibimbing dan diawasi menyerupai masih anak-anak. Remaja dibutuhkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam arahan moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Michel (dalam Sunaryo.2002:171) mengemukakan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja, yaitu:
  1. Pandangan moral individu makin usang makin menjadi abstrak.
  2. Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yan benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
  3. Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap banyak sekali kasus moral yang dihadapinya.
  4. Penilaian moral menjadi egosentris.
  5. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa evaluasi moral merupakan materi emosi danmenimbulkan ketegangan emosi.
Kehidupan moral merupakan problematik yang pokok pada masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk sanggup memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki daerah yang sangat penting.

Menurut Kolberg (dalam sunaryo.2002:172) ada tingkat perkembangan moral, yaitu:

1. Prakonvensional (stadium 1 dan 2)
Pada stadium satu, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak mengganggap baik atau jelek atas dasar akhir yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan yang ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia hanya berdasarkan atau jikalau tidak akan kena hukuman.

Pada stadium dua, berlaku prinsip relativistik-hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap insiden mempunyai beberapa segi. Kaprikornus ada relativisme, artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam lantaran kelaparan, karen aperbuatan mencurinya untuk memenuhi kebutuhannya (lapar) maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah lantaran ada jadinya yaitu hukuman.

2) Konvensional (Stadium 3 dan 4)
Stadium tiga menyambut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini anak mulai memasuki belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang sanggup dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat yaitu sumber berguru yang memilih apakah perbuatan seseorang baik atau tidak. Menjadi ‘anak manis” masih sangat penting dalam stadium ini. Stadium empat yaitu mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya semoga sanggup diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan semoga sanggup ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Kaprikornus perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan yang ada, semoga tidak timbul kekacauan.

3) Pasca-Konvensional (stadium 5 dan 6)
Stadium 5 merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada kekerabatan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosialdengan masyarakat.Seseorang harus memperlihatkan kewajiban, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial lantaran sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memperlihatkan perlingungan kepadanya.

Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun di stadium ini kata hati sudah mulai berbicara, namun evaluasi – penilainnya masih belum timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diintenalisasi, yang sering tampak pada sikap yang kaku.

Stadium enam disebut prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik di samping norma pribadi dan subyektif. Dalamhubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakatnya ada unsur-unsur subyektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak. Subyektivisme ini berarti ada perbedaan evaluasi antara seseorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan memilih apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melaksanakan tingkah laris – tingkah laris moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvensional harus dicapai selama masa remaja.

Menurut Furter (Dalam Monk,1984:257) menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai. Remaja dituntut tidak hanya mengerti nilai-nilai saja, melainkan juga sanggup menjalankannya. Hal ini berarti bahwa remaja sudah sanggup menginternalisasikan evaluasi moral, menjadikannya sebagai nilai pribadi, dan penginternalisasian nilai akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi perkembangan Nilai

Berdasar sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi belum dewasa usia 12-16 tahun, citra ideal identifikasi yaitu orang sampaumur yang simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal, dan hal-hal ideal yang diciptakannya sendiri.

Bagi para jago psikoanalisa perkembangan moral dapandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisa, moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibuat melalui jalan internaliasi larangan dan perintah yang tiba dari luar (khususnya orang tua) sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai kekerabatan harminis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak bisa berbagi super ego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.

Teori lain yang non psikoanalisa beranggapan bahwa kekerabatan anak dengan orang renta bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai kiprah penting dalam pembentukan moral. Tingkah laris yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggarnya (sarlito, 1992:92)

Di dalam perjuangan membentuk tingkah laris sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan mmegang peranan penting. Di antara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, sepertinya sangat penting yaitu unsur lingkungan berbentuk insan yang eksklusif dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin terang sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk tingkah laris yang sesuai.

Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg memperlihatkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berafiliasi dengan nilai budaya. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktifitas impulsif pada belum dewasa (singgih G. 1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus, yang dipengaruhi faktor pribadi.

Upaya berbagi nilai dan moral

Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya dan tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral menyerupai yang diharapkan. Oleh lantaran itu orang sampaumur perlu membantu remaja dengan memberi pembinaan. Adapun upaya yang sanggup dilakukan dalam berbagi nilai, moral, dan sikap remaja yaitu sebagai berikut :

1) Menciptakan komunikasi.

Dalam komunikasi didahului dengan pinjaman isu wacana nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa, bagaimana seseorang harus bertingkah laris sesuai dengan norma dan nilai moral, tetapi belum dewasa harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupunkeputusan kelompok.

Di sekolah remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk berbagi aspek moral contohnya dalam kerja kelompok, sehingga beliau berguru tidakmelakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain lantaran hal itu tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Mempelajari nilai memerlukan kesempatan untuk diterima dan diresapkan sebelum menjadi potongan integral dari tingkah laris seseorang. Selanjutnya, nilai-nilai yang dipelajari akan berkembang dalam konteks kehidupan bersama.

2) Menciptakan iklim yang sesuai

Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu danmoral, kemudian berhasil mempunyai sikap dan tingkah laris sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya yaitu seorang yang hidup dalam lingkungan yang positif, jujur, dan konsekuen mendukung bentuk tingkah laris yang merupakan pencerminan nilai hodup tersebut. Ini berarti abahwa perjuangan pengembangan tingkah laris nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan intelektual semata tetapi memerlukan lingkungan yang aman di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang kongkrit dari nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merulakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka sepertinya yang perlu diperhatikan yaitu lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina yaitu orang renta dan guru.

Para remaja sering bersikap kritis, menentang nilai dan dasar hidup orang renta dan orang sampaumur lainya. Ini tidak berarti mengurangi kebutuhan mereka akan suatu sistem nilai yang tetap dan memberi rasa aman kepada remaja. Mereka tetap mengingatkan suautu sistem nilai yang akan menjadi pegangan dan petunjuk bagi sikap mereka. Karena itu, orang renta dan guru serta orang sampaumur lainnya perlu memberi model atau teladan sikap yang merupakan perwujudan nilai yang diperjuangkan.

Usia remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh lantaran itu mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik kiprah yang selalu terjadi dalam masa transisi ini. Nilai-nilai keagamaan perlu menerima perhatian, lantaran agama juga mengajarkan tingkah laris yang baik dan jelek sehingga secara psikologis berpedoman kepada agama juga mengajarkan tingkah laris yang baik dan buruk, sehingga secara psikologis berpedoman kepada agama. 

Akhirnya, lingkungan yang lebih bersifat mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan, akan lebih efektif dari pada lingkungan yang ditandai dengan larangan-larangan dan peraturan yang serba membatasi.
Advertisement

Iklan Sidebar